Fidel Castro Merupakan Tokoh Revolusioner Kuba Yang Berasal Dari Kota
Pemberontakan dan Marxisme: 1947–1950
Aku bergabung dengan rakyat; aku mengambil sebuah senapan di kantor polisi yang hancur akibat kerumunan. Aku menyaksikan revolusi yang terjadi secara spontan... Pengalaman itu membuatku semakin mengaitkan diriku dengan perjuangan demi rakyat. Gagasan Marxis yang baru berkembang di benakku tidak ada hubungannya dengan tindakan kami – ini adalah reaksi spontan sebagai pemuda dengan gagasan Martí, anti-imperialis, anti-kolonialis, dan pro-demokrat.
— Fidel Castro saat sedang membahas peristiwa Bogotazo, 2009[19]
Pada Juni 1947, Castro mendengar kabar mengenai rencana ekspedisi pelengseran junta militer sayap kanan Rafael Trujillo di Republik Dominika.[20] Sebagai Presiden Komite Universitas untuk Demokrasi di Republik Dominika, Castro bergabung dengan ekspedisi tersebut.[21] Pasukannya berjumlah 1.200 orang, kebanyakan adalah orang Kuba dan orang Dominika di pengasingan, dan mereka berencana berlayar dari Kuba pada Juli 1947. Akibat tekanan dari AS, pemerintah Grau berupaya menghentikan ekspedisi tersebut, tetapi Castro dan banyak pengikutnya berhasil lolos dari penangkapan. Sekembalinya di Havana, Castro memimpin demonstrasi mahasiswa yang mengutuk pembunuhan seorang murid SMA oleh petugas keamanan pemerintah. Protes tersebut, yang diiringi dengan tindakan keras yang diambil oleh pemerintah terhadap orang-orang yang dituduh komunis, berujung pada bentrok antara aktivis melawan polisi pada Februari 1948, sehingga Castro mengalami luka berat. Pada masa itu, pidato-pidato publiknya sudah condong ke arah kiri dengan mengutuk kesenjangan ekonomi dan sosial di Kuba. Sebelum itu, ia sering kali mengkritik korupsi dan imperialisme AS.
Pada April 1948, Castro mendatangi Bogotá, Colombia, dengan sekelompok pelajar Kuba yang disponsori oleh pemerintahan Juan Perón dari Argentina. Di sana, pembunuhan seorang pemimpin sayap kiri yang bernama Jorge Eliécer Gaitán Ayala berujung pada merebaknya kerusuhan dan bentrok antara kelompok Konservatif yang memegang kekuasaan dan didukung oleh tentara melawan kelompok Liberal yang berhaluan kiri.[25] Castro bergabung dengan kelompok Liberal dan ia mencuri persenjataan dari sebuah kantor polisi, tetapi penyelidikan polisi yang diadakan setelahnya menunjukkan bahwa Castro sama sekali tidak terlibat dalam pembunuhan manapun.[25] Sekembalinya di Kuba, Castro menjadi tokoh penting dalam unjuk rasa menentang rencana kenaikan harga tiket bus.[26] Pada tahun yang sama, ia juga menikahi Mirta Díaz Balart, seorang mahasiswi dari keluarga kaya, dan dari pernikahannya itu ia dapat melihat secara langsung gaya hidup kelompok elit di Kuba. Hubungan tersebut murni atas dasar cinta, meskipun keluarga dari masing-masing pihak sama-sama menentangnya, tetapi pada akhirnya ayah Díaz Balart memberikan mereka sepuluh ribu rolar untuk menjalani bulan madu selama tiga bulan di New York City.[27]
Marxisme mengajarkanku apa itu masyarakat. Aku bagaikan seorang pria yang tertutup matanya di hutan, yang bahkan tidak tahu di mana utara atau selatan. Jika kamu pada akhirnya tidak memahami sejarah perjuangan kelas, atau setidaknya gagasan yang sangat jelas terlihat bahwa masyarakat terbagi menjadi yang kaya dan miskin, dan bahwa beberapa orang menundukkan dan memperalat yang lainnya, [maka] kamu tersesat di hutan, tidak mengetahui apa-apa.
— Fidel Castro mengenai Marxisme, 2009[28]
Pada tahun yang sama, Grau memutuskan untuk tidak lagi ikut pemilu, dan pesta demokrasi tersebut kemudian dimenangkan oleh calon Partido Auténtico yang baru, yaitu Carlos Prío Socarrás.[29] Prío harus menghadapi demonstrasi massal setelah para anggota MSR (yang kini bersekutu dengan polisi) membunuh Justo Fuentes, yang merupakan teman Castro. Alhasil Prío bersedia menumpas geng-geng di Kuba, tetapi ternyata mereka terlalu kuat.[30] Cara pandang politik Castro sendiri semakin bergerak ke arah kiri, dan ia sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin. Ia menganggap masalah-masalah yang dihadapi oleh Kuba sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat kapitalis, atau "kediktatoran borjuis", dan bukan kegagalan akibat politikus yang korup, sehingga ia mulai menganut paham Marxis bahwa perubahan politik yang berarti hanya dapat diwujudkan lewat revolusi proletariat. Selain itu, ia juga aktif dalam kampanye anti-rasisme yang dilancarkan oleh mahasiswa setelah ia mengunjungi kawasan-kawasan termiskin di Havana.[31]
Pada September 1949, Mirta melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Fidelito, sehingga pasangan tersebut pindah ke sebuah apartemen yang lebih besar di Havana.[32] Castro masih tetap aktif di dunia politik dan bahkan bergabung dengan Gerakan 30 September yang terdiri dari kaum komunis dan anggota Partido Ortodoxo. Tujuan kelompok tersebut adalah untuk melawan geng-geng yang menggunakan kekerasan di universitas; namun, Prío gagal mengendalikan keadaan, dan ia malah menawarkan pekerjaan di kementerian-kementerian negara kepada para anggota senior geng-geng tersebut.[33] Castro secara sukarela menyampaikan pidato atas nama Gerakan 30 September pada tanggal 13 November yang membongkar perjanjian rahasia pemerintah dengan geng-geng. Hal ini menarik perhatian media nasional, tetapi geng-geng tersebut mengamuk dan Castro pun terpaksa bersembunyi, mula-mula di wilayah pedesaan dan kemudian di AS.[34] Sekembalinya di Havana beberapa minggu kemudian, Castro berusaha untuk tidak menarik perhatian orang, dan ia memusatkan perhatiannya pada kuliahnya, hingga akhirnya ia lulus dengan gelar Doktor Hukum pada September 1950.[35]
Mengundurkan diri 2006–2008
Setelah sempat dioperasi akibat pendarahan usus,[309] pada 31 Juli 2006 Castro menyerahkan tugas-tugas kepresidenannya kepada Raúl Castro.[310] Pada Februari 2007, Raúl mengumumkan bahwa kesehatan Fidel telah membaik dan Castro kembali membantu pemerintahan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang penting.[311] Pada 21 April, Castro bertemu dengan Wu Guanzheng dari Politbiro Partai Komunis Tiongkok.[312] Hugo Chávez mengunjungi Castro pada bulan Agustus, dan Morales juga mendatanginya pada bulan September. Pada bulan yang sama, Gerakan Non-Blok mengadakan KTT ke-14 di Havana, dan selama pertemuan tersebut organisasi ini sepakat untuk mengangkat Castro sebagai presiden organisasi tersebut selama setahun.[315]
Saat mengomentari proses pemulihan Castro, Presiden AS George W. Bush berkata: "Suatu hari, Allah yang baik akan membawa pergi Fidel Castro." Setelah mendengar pernyataan ini, Castro yang merupakan seorang ateis berbalik menjawab: "Sekarang aku mengerti kenapa aku selamat dari rencana Bush dan presiden-presiden lainnya yang memerintahkan agar aku dibunuh: Allah yang baik melindungiku."[316]
Dalam sebuah surat yang berasal dari Februari 2008, Castro mengumumkan bahwa ia tidak akan menerima jabatan Presiden Dewan Negara dan Panglima Tertinggi,[317] dan ia berkata, "Hati nuraniku akan terganggu jika saya mengemban tanggung jawab yang membutuhkan pergerakan dan pengabdian penuh, karena kondisi fisikku tidak mencukupi".[318] Pada 24 Februari 2008, Majelis Kekuatan Rakyat Nasional memilih Raúl sebagai presiden.[319] Raúl sendiri mengatakan bahwa kakaknya "tak tergantikan", dan ia mengusulkan agar Fidel tetap dimintai nasihatnya terkait dengan permasalahan-permasalahan yang genting; usulan ini disetujui oleh 597 anggota Majelis Nasional.[320]
Kemandekan ekonomi dan politik Dunia Ketiga: 1969–1974
Castro merayakan sepuluh tahun pemerintahannya pada Januari 1969, dan selama perayaan tersebut ia menyampaikan pidato yang memperingatkan rakyat tentang kemungkinan pemberlakukan penjatahan gula, yang menunjukkan bahwa Kuba tengah mengalami kesulitan ekonomi. Pada 1969, banyak tanaman yang rusak berat akibat badai, dan untuk memenuhi kuota ekspornya, pemerintah mengerahkan tentara, memberlakukan sistem tujuh hari kerja seminggu, dan menunda hari-hari libur untuk memperpanjang panen. Saat kuota produksi tahunan tidak terpenuhi, Castro menawarkan pengunduran dirinya dalam sebuah pidato yang disampaikan di muka umum, tetapi massa yang berkumpul meminta agar ia tetap bertahan. Walaupun tengah menghadapi permasalahan ekonomi, banyak program reformasi sosial Castro yang disukai oleh rakyat, termasuk program pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pembangunan jalan, serta kebijakan-kebijakan "demokrasi langsung". Castro juga meminta bantuan dari Soviet, sehingga dari 1970 sampai 1972, para ekonom Soviet membantu merombak ekonomi Kuba dan mendirikan Komisi Kerja Sama Ekonomi, Ilmiah, dan Teknis Kuba-Soviet, sementara Perdana Menteri Soviet Alexei Kosygin sendiri melakukan kunjungan ke Kuba pada 1971. Pada Juli 1972, Kuba bergabung dengan Komekon (Comecon), sebuah organisasi ekonomi negara-negara sosialis, meskipun hal tersebut semakin membatasi ekonomi Kuba pada sektor pertanian.
Pada Mei 1970, awak-awak dua perahu nelayan Kuba diculik oleh kelompok pembangkang Alpha 66 yang berbasis di Florida, dan mereka menuntut agar Kuba membebaskan para militan yang ditahan. Akibat tekanan dari AS, para sandera tersebut dibebaskan, dan Castro menyambut mereka sebagai pahlawan. Pada April 1971, Castro dikutuk oleh dunia internasional karena telah memerintahkan penangkapan penyair pembangkang Heberto Padilla; Padilla pada akhirnya dibebaskan, tetapi pemerintah mendirikan Dewan Kebudayaan Nasional untuk memastikan agar kaum intelektual dan seniman tetap mendukung pemerintahan.
Pada 1971, Castro mengunjungi Chili. Di negara tersebut, Presiden Salvador Allende yang berhaluan Marxis baru saja terpilih menjadi kepala koalisi sayap kiri. Castro mendukung reformasi sosialis Allende, tetapi memperingatkannya perihal keberadaan unsur-unsur sayap kanan dalam militer Chili. Peringatan ini terbukti dua tahun kemudian, karena pada 1973, militer melancarkan kudeta dan mendirikan sebuah junta militer yang dipimpin oleh Augusto Pinochet. Pada 1972, Castro mengunjungi Guinea untuk bertemu dengan Presiden Sékou Touré yang beraliran sosialis, dan ia memujinya sebagai pemimpin Afrika terbesar. Ia kemudian melakukan kunjungan selama tujuh minggu ke negara-negara berhaluan kiri: Aljazair, Bulgaria, Hungaria, Polandia, Jerman Timur, Cekoslowakia, dan Uni Soviet. Dalam setiap kunjungannya, ia selalu ingin mendatangi para pekerja pabrik dan pertanian, dan di hadapan umum ia memuji pemerintahan negara yang ia kunjungi; di balik tirai, ia meminta agar negara-negara tersebut membantu gerakan-gerakan revolusioner di wilayah lain, terutama para pejuang Perang Vietnam.
Pada September 1973, ia kembali ke Aljir untuk menghadiri KTT Gerakan Non-Blok (GNB) Keempat. Berbagai anggota GNB mengkritik kehadiran Castro, karena menurut mereka Kuba telah berhaluan ke Pakta Warsawa, sehingga seharusnya tidak ikut konferensi tersebut. Di konferensi tersebut, ia memutus hubungan diplomatik dengan Israel atas dasar hubungan erat negara Yahudi tersebut dengan AS dan rasa perhatian Castro kepada bangsa Palestina. Alhasil Castro memperoleh penghormatan dari dunia Arab, terutama dari pemimpin Libya Muammar Gaddafi yang menjadi teman dan sekutunya. Saat berlangsungnya Perang Yom Kippur pada Oktober 1973 antara Israel melawan sebuah koalisi Arab yang dipimpin oleh Mesir dan Suriah, Kuba mengirim 4.000 pasukan untuk membantu Suriah. Kemudian, setelah Castro meninggalkan Aljir, ia melakukan kunjungan ke Irak dan Vietnam Utara.
Ekonomi Kuba mengalami pertumbuhan pada 1974 berkat harga gula yang tinggi di pasar dunia dan pinjaman-pinjaman baru dari Argentina, Kanada, dan negara-negara Eropa Barat lainnya. Sejumlah negara Amerika Latin menyerukan agar Kuba kembali diterima di Organisasi Negara-negara Amerika, dan AS akhirnya menuruti permintaan tersebut pada 1975 sesuai dengan nasihat dari Henry Kissinger. Pemerintah Kuba lalu melakukan restrukturisasi dengan mengikuti model Soviet, dan ia mengklaim bahwa hal ini akan semakin memperkuat demokratisasi dan mengurangi kekuasaan Castro. Ia lalu mengumandangkan secara resmi status Kuba sebagai sebuah negara sosialis. Kongres Nasional Partai Komunis Kuba yang pertama digelar, dan sebuah konstitusi baru yang menghapuskan jabatan Presiden dan Perdana Menteri juga diberlakukan. Namun demikian, Castro masih menjadi tokoh yang dominan di pemerintahan; ia menjadi kepala Dewan Negara dan Dewan Menteri yang baru saja dibentuk, sehingga ia menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Gelombang merah jambu: 2000–2006
Meskipun dirundung masalah ekonomi, Kuba dibantu oleh terpilihnya tokoh sosialis dan anti-imperialis Hugo Chávez menjadi Presiden Venezuela pada 1999. Castro dan Chávez memiliki hubungan yang erat, dan Castro bertindak bagaikan pembimbing dan figur ayah bagi Chávez, dan bersama-sama mereka membentuk sebuah persekutuan yang sangat berdampak terhadap kawasan Amerika Latin. Pada 2000, mereka menandatangani sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa Kuba akan mengirim 20.000 tenaga medis ke Venezuela, dan sebagai gantinya Kuba akan memperoleh 53.000 barel minyak setiap harinya dengan harga yang lebih murah; pada 2004, perdagangan tersebut ditingkatkan, dengan Kuba mengirim 40.000 tenaga medis dan Venezuela menyediakan 90.000 barel setiap harinya.[295] Pada tahun yang sama, Castro memprakarsai Misión Milagro, yaitu sebuah proyek medis gabungan dengan Venezuela yang ditujukan untuk menyediakan operasi mata gratis kepada 300.000 orang dari masing-masing negara. Persekutuan tersebut memperkuat ekonomi Kuba, dan pada Mei 2005 Castro menggandakan upah minimum 1,6 juta buruh, menaikkan dana pensiun, dan mengirimkan peralatan dapur baru kepada para penduduk termiskin di Kuba. Namun, permasalahan ekonomi masih belum sepenuhnya terselesaikan; pada 2004, Castro menutup 118 pabrik, termasuk pabrik baja, gula, dan pengolah kertas, akibat kekurangan bahan bakar.[298]
Kuba dan Venezuela menjadi negara pendiri Alternatif Bolivaria bagi Bangsa-bangsa Amerika (ALBA). ALBA ditujukan untuk meredistribusikan kekayaan di seluruh negara anggotanya, melindungi pertanian di kawasan tersebut, dan menentang liberalisasi dan privatisasi ekonomi. ALBA diawali dengan sebuah perjanjian pada Desember 2004 yang ditandatangani oleh kedua negara tersebut, dan diresmikan melalui Perjanjian Dagang Rakyat yang juga ditandatangani oleh Bolivia di bawah kepemimpinan Evo Morales pada April 2006. Castro juga menyerukan penggalakkan integrasi Karibia sejak akhir era 1990-an dan berkata bahwa hanya kerjasama yang lebih kuat di antara negara-negara Karibia yang akan menghindarkan mereka dari dominasi negara-negara kaya dalam ekonomi global.[301][302] Selain itu, Kuba membuka empat kedutaan besar baru di beberapa negara anggota Komunitas Karibia yang meliputi Antigua dan Barbuda, Dominika, Suriname, dan Saint Vincent dan Grenadine. Alhasil Kuba menjadi satu-satunya negara yang memiliki kedutaan besar di semua negara merdeka yang merupakan anggota Komunitas Karibia.[303]
Meskipun hubungan Kuba dengan sejumlah negara-negara Amerika Latin yang beraliran kiri terus membaik, pada 2004 negara tersebut memutus hubungan diplomatik dengan Panama setelah Presiden Mireya Moscoso yang berhaluan tengah mengampuni empat orang Kuba di pengasingan yang dituduh pernah mencoba membunuh Castro pada 2000. Hubungan diplomatik dipulihkan kembali pada 2005 setelah terpilihnya presiden Martín Torrijos yang berhaluan kiri.[304] Selain itu, Castro juga masih terus bermusuhan dengan AS. Namun, setelah Badai Michelle pada 2001 mengakibatkan kerusakan besar, Castro berhasil membuat kesepakatan pembelian pangan dari AS, walaupun ia menolak tawaran bantuan kemanusiaan dari negara tersebut.[305] Castro menyatakan rasa solidaritasnya kepada AS setelah terjadinya serangan 11 September 2001, dan ia juga mengutuk Al-Qaeda dan menawarkan bandara-bandara Kuba sebagai tempat pendaratan darurat bagi pesawat-pesawat AS. Ia sadar bahwa serangan tersebut akan membuat kebijakan luar negeri AS menjadi lebih agresif, dan menurutnya kebijakan semacam itu bersifat kontra-produktif.
Sementara itu, pada 1998, Perdana Menteri Kanada Jean Chrétien tiba di Kuba untuk menemui Castro. Ia menjadi pemimpin pemerintahan Kanada pertama yang mengunjungi pulau tersebut semenjak Pierre Trudeau berkunjung ke Havana pada 1976.[307] Pada 2002, mantan Presiden AS Jimmy Carter mengunjungi Kuba, tetapi di situ ia menyoroti ketiadaan kebebasan sipil di negara tersebut dan menyerukan kepada pemerintah Kuba untuk memperhatikan Proyek Varela yang diprakarsai oleh Oswaldo Payá.
Perang di luar negeri dan Kepresidenan GNB: 1975–1979
Castro menganggap Afrika sebagai "titik terlemah imperialisme". Setelah diminta oleh Presiden Angola Agostinho Neto, ia mengirim 230 penasihat militer pada November 1975 untuk membantu organisasi Marxis MPLA yang dipimpin oleh Neto dalam Perang Saudara Angola. AS dan Afrika Selatan lalu memperkuat dukungan mereka kepada kelompok perlawanan FLNA dan UNITA, alhasil Castro memerintahkan agar 18.000 tentara diutus ke Angola. Saat Castro mengunjungi Angola, ia bertemu dengan Neto, Sékou Touré, dan Presiden Guinea-Bissau Luís Cabral, dan mereka sepakat untuk mendukung pemerintahan Marxis–Leninis Mozambik melawan RENAMO dalam Perang Saudara Mozambik. Pada bulan Februari, Castro mengunjungi Aljazair dan kemudian Libya. Di Libya, ia menghabiskan waktu selama sepuluh hari dengan Gaddafi dan menyaksikan pendirian sistem pemerintahan Jamahariyah, dan lalu ia menghadiri pertemuan dengan pemerintahan Marxis Yaman Selatan. Sesudah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Somalia, Tanzania, Mozambik, dan Angola. Di Angola, ia disambut oleh kerumunan sebagai pahlawan, karena Kuba telah membantu mereka melawan Afrika Selatan. Di Afrika, ia juga dianggap sebagai sahabat para pejuang kemerdekaan. Setelah mengunjungi negara-negara tersebut, ia mendatangi Berlin dan Moskwa.
Seringkali muncul perbincangan tentang hak asasi manusia, tetapi perbincangan tentang hak kemanusiaan juga perlu dibahas. Kenapa beberapa orang harus berjalan tanpa alas kaki, agar yang lainnya bisa berjalan-jalan dengan mobil mewah? Kenapa beberapa orang hanya dapat hidup selama tiga puluh lima tahun, agar yang lainnya bisa hidup selama tujuh puluh tahun? Kenapa beberapa orang sangat miskin, agar yang lainnya dapat menjadi sangat kaya? Aku berbicara atas perantara anak-anak di seluruh dunia yang tidak memiliki sepotong roti. Aku berbicara atas perantara orang-orang sakit yang tidak memiliki obat-obatan, atas perantara orang-orang yang dilanggar hak hidup dan martabatnya.
— Pesan Fidel Castro kepada Majelis Umum PBB, 1979
Pada 1977, Somalia menyerang Etiopia untuk mengambil alih wilayah Ogaden; meskipun Castro pernah berhubungan dekat dengan Presiden Somalia Siad Barre, ia telah memperingatkannya mengenai dampak dari tindakan semacam itu. Pada akhirnya Kuba malah berpihak kepada pemerintahan Marxis Etiopia yang dipimpin oleh Mengistu Haile Mariam. Ia mengirim pasukan di bawah komando Jenderal Arnaldo Ochoa untuk membantu Etiopia. Setelah berhasil memukul mundur pasukan Somalia, Mengistu kemudian memerintahkan pasukan Etiopia untuk memberantas Front Pembebasan Rakyat Eritrea, tetapi Castro menolak mendukung tindakan tersebut. Sementara itu, di Amerika Latin, Castro melayangkan dukungan kepada Front Pembebasan Nasional Sandinista dalam melengserkan pemerintahan sayap kanan Anastasio Somoza Debayle di Nikaragua pada Juli 1979. Namun, para pengkritik Castro merasa bahwa pemerintah telah menghambur-hamburkan nyawa tentara Kuba; Center for a Free Cuba yang anti-Castro mengklaim bahwa sekitar 14.000 pasukan Kuba tewas selama aksi-aksi militer Kuba di luar negeri.[240] Saat AS menegaskan bahwa Kuba tidak memiliki hak untuk ikut campur dalam urusan negara-negara tersebut, Castro membalasnya dengan mengatakan bahwa Kuba telah diundang ke sana, dan ia juga balik menunjuk kepada campur tangan AS di berbagai negara.
Pada 1979, Konferensi Gerakan Non-Blok (GNB) diadakan di Havana, dan Castro kemudian terpilih menjadi Presiden GNB, sebuah jabatan yang ia emban hingga 1982. Ia tampil di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Oktober 1979 dalam kapasitasnya baik sebagai Presiden GNB maupun Kuba, dan di situ ia memberikan pidato tentang kesenjangan antara yang kaya dan miskin di dunia. Pidatonya disambut dengan tepuk tangan yang meriah dari para pemimpin dunia, meskipun kedudukannya di GNB rusak setelah Kuba menolak mengutuk campur tangan Soviet di Afganistan. Sementara itu, hubungan Kuba dengan negara-negara Amerika Utara sempat membaik pada masa kepemimpinan Presiden Luis Echeverría di Meksiko, Perdana Menteri Pierre Trudeau di Kanada, dan Presiden Jimmy Carter di Amerika Serikat. Carter masih mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di Kuba, tetapi pendekatannya lebih hormat, dan Castro pun menyadari hal ini. Castro menganggap Carter sebagai seorang presiden yang tulus dan beritikad baik, alhasil ia membebaskan beberapa tahanan politik dan mengizinkan beberapa orang Kuba di pengasingan mengunjungi kerabat mereka di Kuba, dengan harapan agar Carter mau mencabut embargo dan menghentikan dukungan CIA terhadap para pembangkang militan. Di sisi lain, hubungannya dengan Tiongkok memburuk, karena ia menuduh pemerintahan Deng Xiaoping telah mencederai prinsip-prinsip revolusioner dengan mengadakan hubungan dagang dengan AS dan menyerang Vietnam.
Invasi Teluk Babi dan "Kuba Sosialis": 1961–1962
[Tidak ada] keraguan mengenai siapa pemenangnya. Posisi Kuba di mata dunia melejit, dan citra Fidel sebagai pemimpin yang sangat dikagumi dan dihormati oleh rakyat jelata Kuba pun menguat. Ketenarannya lebih tinggi daripada sebelum-sebelumnya. Ia sendiri berpikir bahwa ia telah mewujudkan apa yang hanya dapat diangan-angankan oleh generasi-generasi Kuba sebelumnya: ia telah menantang Amerika Serikat dan menang.
— Peter Bourne, biografer Castro, 1986
Pada Januari 1961, Castro memerintahkan Kedutaan Besar AS di Havana untuk mengurangi jumlah anggota stafnya yang mencapai 300 orang, karena ia menduga bahwa banyak dari antara mereka yang menjadi mata-mata. AS menanggapinya dengan mengakhiri hubungan diplomatik dengan Kuba dan meningkatkan pendanaan yang digelontorkan oleh CIA kepada para pembangkang di pengasingan; militan-militan tersebut juga mulai menyerang kapal-kapal yang berdagang dengan Kuba dan meledakkan pabrik-pabrik, toko-toko, dan tempat pengolahan gula.[162] Baik Eisenhower maupun penerusnya, John F. Kennedy, mendukung rencana CIA yang ingin membantu milisi pembangkang "Barisan Revolusioner Demokratik" dalam upaya mereka untuk melengserkan Castro; rencana tersebut berujung pada Invasi Teluk Babi pada April 1961. Pada 15 April, B-26 yang disediakan oleh CIA meledakkan 3 pangkalan udara militer Kuba; AS mengumumkan bahwa para pelakunya adalah pilot angkatan udara Kuba yang membelot, tetapi Castro membongkar kebohongan klaim tersebut.[163] Castro lalu memerintahkan penangkapan 20.000 hingga 100.000 orang yang dituduh kontra-revolusi,[164] dan di depan umum ia mengumandangkan, "Yang tidak dapat diampuni oleh kaum imperialis adalah bagaimana kita telah mengobarkan revolusi Sosialis di pelupuk mata mereka sendiri", dan ini adalah pertama kalinya ia menyatakan bahwa pemerintahannya adalah pemerintahan sosialis.[165]
CIA dan Barisan Revolusioner Demokrat telah menempatkan Brigada Asalto 2506 yang berjumlah 1.400 tentara di Nikaragua. Pada malam tanggal 16-17 April, Brigada 2506 mendarat di Teluk Babi, Kuba, dan kemudian terjadi baku tembak antara mereka dengan milisi revolusioner setempat. Castro memerintahkan Kapten José Ramón Fernández untuk melancarkan serangan balasan, tetapi ia kemudian memimpin pasukan tersebut secara langsung. Setelah Castro berhasil mengebom kapal-kapal milik para penyerang dan memperoleh bala bantuan, Brigada tersebut menyerah pada 20 April.[166] Ia memerintahkan agar 1189 pemberontak yang ditangkap diinterogasi oleh sebuah panel jurnalis dengan disiarkan secara langsung oleh televisi. Ia lalu memimpin proses interogasi tersebut secara langsung pada 25 April. 14 orang dari antara mereka diadili atas kejahatan yang telah dilakukan sebelum revolusi, sementara yang lainnya dipulangkan ke AS untuk ditukar dengan obat-obatan dan makanan senilai U.S. $25 juta.[167] Kemenangan Castro bergaung di dunia, khususnya di Amerika Latin, tetapi juga meningkatkan perlawanan internal, terutama dari golongan menengah Kuba yang ditahan menjelang terjadinya invasi. Meskipun kebanyakan dibebaskan dalam waktu beberapa hari, beberapa di antaranya melarikan diri ke AS dan menetap di Florida.[168]
Untuk mengukuhkan "Kuba Sosialis", Castro menggabungkan MR-26-7, PSP, dan Direktorat Revolusioner menjadi sebuah partai pemerintahan yang berlandaskan pada asas Leninis yang disebut sentralisme demokrat. Partai ini disebut "Organisasi Revolusioner Terintegrasi" (Organizaciones Revolucionarias Integradas – ORI), yang kemudian berganti nama menjadi Partai Kesatuan Revolusi Sosialis Kuba pada 1962.[169] Meskipun Uni Soviet masih meragukan pandangan sosialisme Castro,[170] hubungannya dengan Soviet semakin erat. Castro mengirim Fidelito ke Moskwa untuk bersekolah,[171] para teknisi Soviet datang ke Kuba,[171] dan Castro juga dianugerahi Penghargaan Perdamaian Lenin.[172] Pada Desember 1961, Castro mengakui bahwa ia sudah menjadi seorang Marxis–Leninis selama bertahun-tahun, dan dalam Deklarasi Havana Kedua-nya, ia menyerukan agar Amerika Latin bangkit dan mengobarkan revolusi. Akibatnya, AS meminta Organisasi Negara-Negara Amerika untuk mengeluarkan Kuba; Soviet secara pribadi menegur Castro karena ia dianggap ceroboh, meskipun ia mendapatkan pujian dari Tiongkok.[174] Walaupun Castro cenderung bersimpati secara ideologis kepada Tiongkok, selama terjadinya perpecahan Soviet-Tiongkok, Kuba bersekutu dengan Soviet yang lebih kaya, terutama mengingat bahwa Soviet menawarkan bantuan ekonomi dan militer.[175]
ORI mulai merombak Kuba berdasarkan contoh Uni Soviet; mereka menindas lawan-lawan politik dan orang-orang yang dianggap menyimpang secara sosial, seperti para pelacur dan kaum homoseksual; Castro menganggap aktivitas seksual sesama jenis sebagai sebuah perilaku borjuis.[176] Pria gay dipaksa masuk ke kamp-kamp pertanian yang disebut Satuan Militer untuk Bantuan Produksi (Unidades Militares de Ayuda a la Producción – UMAP); namun, banyak kaum intelektual revolusioner yang mengutuk tindakan ini, sehingga kamp-kamp tersebut ditutup pada 1967, meskipun pria gay masih tetap dipenjara. Pada 1962, ekonomi Kuba mengalami kemunduran akibat manajemen ekonomi yang buruk dan produktivitas yang rendah, yang semakin diperparah oleh embargo dagang AS. Kekurangan pangan memicu protes di Cárdenas.[178] Laporan keamanan menunjukkan bahwa banyak orang Kuba yang mengaitkan keadaan yang sulit tersebut dengan "Komunis Lama" dari PSP, sementara Castro merasa bahwa beberapa tokoh Komunis Lama – yakni Aníbal Escalante dan Blas Roca – terlalu setia kepada Moskwa. Pada Maret 1962, Castro memberhentikan tokoh-tokoh penting "Komunis Lama" dari jabatan mereka dan mencap mereka "sektarian".[179] Dalam hal hubungan pribadi, Castro menjadi semakin sendiri, dan hubungannya dengan Guevara juga retak karena Guevara menjadi semakin anti-Soviet dan pro-Tiongkok.[180]
Perang gerilya: 1956–1959
Granma karam di daerah rawa bakau di Playa Las Coloradas, yang terletak tidak jauh dari Los Cayuelos, pada 2 Desember 1956. Castro dan rekan-rekannya melarikan diri ke pedalaman menuju kawasan pegunungan Sierra Maestra di Oriente, meskipun selama perjalanannya mereka berulang kali diserang oleh pasukan Batista.[89] Sesampainya di situ, Castro baru sadar bahwa hanya ada 19 orang yang berhasil sampai di tujuan, sisanya dibunuh atau ditangkap.[90] Mereka lalu mendirikan sebuah perkemahan, dan sejauh ini orang-orang yang berhasil selamat meliputi Castro bersaudara, Che Guevara, dan Camilo Cienfuegos.[91] Mereka kemudian mulai melakukan serangan ke pos-pos tentara kecil untuk merampas senjata, dan pada Januari 1957 mereka menyerbu sebuah pos di La Plata; mereka mengobati setiap prajurit yang terluka, tetapi mereka menghukum mati Chicho Osorio, seorang mayoral (mandor perusahaan lahan) yang dibenci oleh para petani setempat.[92] Dengan menghukum mati Osorio, para pemberontak pun mendapatkan kepercayaan dari para penduduk setempat, walaupun Castro dan rekan-rekannya masih dicurigai.[93] Seiring berjalannya waktu, kepercayaan ini turut menguat, sehingga beberapa warga bergabung dengan kelompok pemberontak, tetapi sebagian besar sukarelawan baru berasal dari kawasan perkotaan.[94] Dengan ini jumlah pasukan pemberontak bertambah hingga mencapai 200 orang, dan pada Juli 1957 Castro membagi tentaranya menjadi tiga, masing-masing dipimpin oleh dirinya, saudaranya, dan Guevara.[95] Para anggota MR-26-7 yang beroperasi di kawasan perkotaan melanjutkan perlawanan dan mengirimkan persediaan kepada Castro, dan pada 16 Februari 1957 ia bertemu dengan para anggota senior lainnya untuk membahas taktik; di situ ia bertemu dengan Celia Sánchez, yang kelak akan menjadi teman dekatnya.[96]
Kelompok-kelompok anti-Batista di berbagai wilayah di Kuba melakukan pengeboman dan sabotase; polisi menanggapinya dengan penangkapan massal, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum.[97] Pada Maret 1957, serangan DRE ke Istana Presiden mengalami kegagalan, dan selama serangan tersebut Antonio mati tertembak.[97] Frank País juga tewas, sehingga Castro menjadi satu-satunya pemimpin MR-26-7 yang tersisa.[98] Meskipun Guevara dan Raúl dikenal akan pandangan Marxis-Leninis mereka, Castro berupaya menyembunyikannya, karena ia menginginkan dukungan dari kelompok-kelompok revolusioner yang tidak terlalu radikal.[99] Pada 1957, ia bertemu dengan para pemimpin Partido Ortodoxo, Raúl Chibás dan Felipe Pazos, dan mereka merumuskan Manifesto Sierra Maestra yang menyerukan pembentukan pemerintahan sementara yang dipimpin untuk memberlakukan reformasi agraria, industrialisasi, dan kampanye melek huruf, serta sebuah pemilu yang diikuti oleh beberapa partai.[99] Pers Kuba pada masa itu disensor, sehingga Castro menghubungi media asing untuk menyebarkan pesannya; ia menjadi terkenal setelah diwawancarai oleh Herbert Matthews, seorang jurnalis dari The New York Times.[100] Para wartawan dari CBS dan Paris Match kemudian juga mewawancarainya.[101]
Para gerilyawan Castro meningkatkan serangan-serangan mereka ke pos-pos militer, sehingga pasukan pemerintah terpaksa mundur dari kawasan Sierra Maestra, dan pada musim semi 1958, para pemberontak menguasai sebuah rumah sakit, sekolah-sekolah, tempat percetakan, rumah jagal, pabrik ranjau, dan sebuah pabrik rokok.[102] Pada 1958, Batista semakin menghadapi kemelut akibat kegagalan militernya, dan juga akibat kritik-kritik yang terus mengalir dari dalam dan luar negeri yang terkait dengan tindakan penyensoran, penyiksaan, dan pembunuhan di luar hukum yang dilakukan oleh rezimnya.[103] Pemerintah AS bahkan menghentikan bantuan persenjataan kepadanya.[103] Kelompok oposisi lalu menyerukan mogok kerja, yang kemudian diiringi oleh serangan dari kelompok MR-26-7. Semenjak 9 April, kelompok tersebut mendapatkan dukungan yang besar di Kuba tengah dan timur, tetapi tidak terlalu didukung di wilayah lainnya.[104]
Batista membalasnya dengan melancarkan serangan besar-besaran yang disebut Operasi Verano. Angkatan darat membombardir wilayah hutan dan pedesaan yang diduga membantu kelompok pemberontak, sementara 10.000 pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Eulogio Cantillo mengepung kawasan Sierra Maestra dan bergerak ke arah utara menuju kamp-kamp pemberontak.[105] Meskipun jumlah pasukan dan teknologi mereka lebih unggul, angkatan darat Batista sama sekali tidak berpengalaman dalam menghadapi perang gerilya, dan Castro mampu menahan serangan-serangan mereka dengan menggunakan ranjau dan melakukan penyergapan.[105] Banyak prajurit Batista yang membelot ke pihak Castro, dan Castro sendiri didukung oleh penduduk setempat.[106] Pada musim panas, MR-26-7 melakukan serangan balasan dan berhasil mengusir angkatan darat Batista dari wilayah pegunungan, dan Castro sendiri memimpin barisannya dan melakukan gerakan menjepit yang mengepung pasukan utama Batista di Santiago. Pada bulan November, pasukan Castro menguasai sebagian besar wilayah Oriente dan Las Villas, dan membagi Kuba menjadi dua dengan menutup jalan-jalan besar dan jalur-jalur rel; hal ini sangat merugikan Batista.[107]
AS merasa takut dengan kemungkinan bahwa Castro adalah seorang sosialis, dan mereka menginstruksikan Cantillo untuk melengserkan Batista.[108] Cantillo secara diam-diam menyepakati gencatan senjata dengan Castro dan ia juga menjanjikan bahwa Batista akan diadili sebagai seorang penjahat perang;[108] namun, ada yang memperingatkan Batista terkait dengan hal ini, sehingga ia melarikan diri dengan membawa uang yang jumlahnya melebihi US$300.000.000 pada 31 Desember 1958.[109] Cantillo memasuki Istana Presiden di Havana dan menyatakan hakim Mahkamah Agung Carlos Piedra sebagai Presiden.[110] Castro pun murka dan memutuskan untuk mengakhiri gencatan senjata.[111] Ia juga memerintahkan kepada prajurit anggota darat yang bersimpati dengan revolusi untuk menangkap Cantillo.[112] Saat mengikuti perayaan pelengseran Batista pada 1 Januari 1959, Castro memerintahkan MR-26-7 untuk mencegah penjarahan dan vandalisme.[113] Cienfuegos dan Guevara lalu memimpin pasukan mereka ke Havana pada 2 Januari, sementara Castro memasuki Santiago dan menyampaikan pidato yang menyebut soal perang kemerdekaan.[114] Saat menuju Havana, ia disambut kerumunan di setiap kota, dan ia juga melakukan konferensi pers dan diwawancara.[115]
Tanggapan dan tinggalan sejarah
Dominasi Fidel di setiap aspek pemerintahan dan masyarakat di Kuba masih tetap bersifat menyeluruh. Keinginannya untuk mengendalikan secara mutlak tampaknya tidak banyak berubah seiring berjalannya waktu. Ia tetap berkomitmen untuk [mewujudkan] masyarakat yang disiplin, dan ia masih membaktikan diri untuk membentuk ulang karakter nasional Kuba, menciptakan individu-individu yang berorientasi pada pekerjaan dan peduli secara sosial ... Ia ingin meningkatkan standar hidup masyarakat, ketersediaan barang-barang, dan [juga ingin] mengimpor teknologi terbaru. Akan tetapi, kenyataan ekonomi [di Kuba], walaupun pertumbuhan produk nasional bruto berlangsung pesat, sangat membatasi apa yang dapat Kuba beli di pasar dunia.
— Peter Bourne, penulis biografi Castro, 1986
Sebagai salah satu tokoh politik yang paling kontroversial pada masanya, Castro telah menginspirasi sekaligus menimbulkan kecemasan di benak orang-orang. The Observer mengamati bahwa meskipun Castro sudah meninggal, ia tetap menjadi tokoh yang menimbulkan perdebatan sengit, dan satu-satunya hal yang dapat disepakati oleh musuh sekaligus pengagumnya adalah bahwa ia adalah tokoh yang "menjulang tinggi" di panggung dunia, yang "mengubah sebuah pulau kecil di Karibia menjadi kekuatan besar dalam urusan dunia".[404] The Daily Telegraph menyatakan bahwa di seluruh dunia, ia "dipuji sebagai seorang pahlawan rakyat yang pemberani, atau dicibir sebagai seorang diktator yang gila kekuasaan."[405]
Sejarawan dan jurnalis Richard Gott menganggap Castro sebagai "salah satu tokoh politik paling luar biasa pada abad kedua puluh", dan Gott juga menambahkan bahwa Castro telah menjadi "pahlawan dunia yang menyerupai Garibaldi" bagi masyarakat di negara-negara berkembang berkat pendekatan anti-imperialisnya. Bourne menggambarkan Castro sebagai "seorang pemimpin dunia yang berpengaruh", yang berhasil memperoleh "penghormatan yang besar" dari orang-orang dengan berbagai macam latar belakang ideologi di negara berkembang. Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut Castro sebagai "teman Rusia yang tulus dan dapat diandalkan" dan "simbol dari sebuah zaman", sementara Presiden Tiongkok Xi Jinping juga menganggapnya sebagai "kamerad dekat dan teman tulus" Tiongkok.[407] Perdana Menteri India Narendra Modi menjulukinya "salah satu tokoh paling ikonik pada abad ke-20" dan seorang "teman yang baik", sementara Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma memuji Castro karena telah membantu kaum kulit hitam Afrika Selatan dalam "perjuangan kami melawan apartheid".[407]
Wayne S. Smith, mantan Kepala Seksi Kepentingan Amerika Serikat di Havana, menyatakan bahwa tindakan Castro yang berani menentang dominasi AS dan mengubah Kuba menjadi negara yang aktif di kancah dunia telah membuatnya disambut dengan baik di Belahan Barat.[361] Castro sendiri telah dianugerahi beragam penghargaan dan gelar kehormatan dari pemerintah-pemerintah asing, dan disebut sebagai inspirasi bagi para pemimpin asing seperti Ahmed Ben Bella dan Nelson Mandela. Mandela kemudian menganugerahinya dengan penghargaan sipil tertinggi di Afrika Selatan untuk orang asing, Ordo Harapan Baik.[410] Selain itu, Presiden Bolivia Evo Morales menyebutnya sebagai "kakek bagi semua pejuang revolusi Amerika Latin".[411]
Di sisi lain, Castro menuai banyak kritikan dari pemerintahan dan organsiasi HAM di Barat, terutama di AS. Ia dicap sebagai "diktator" oleh beberapa pakar politik.[a] Setelah kematian Castro, Presiden Terpilih AS Donald Trump menyebutnya sebagai seorang "diktator yang brutal",[415] sementara politikus Kuba-Amerika Marco Rubio menganggapnya sebagai "seorang diktator pembunuh dan jahat" yang mengubah Kuba menjadi "sebuah penjara pulau yang miskin".[416] Castro secara terbuka menolak cap "diktator", dan menyatakan bahwa kewenangannya secara konstitusional tidaklah sebesar sebagian besar kepala negara di wilayah-wilayah lain, dan ia mengklaim bahwa rezimnya membuka lebih banyak ruang demokratis dalam proses pengambilan kebijakan ketimbang negara-negara demokrasi liberal Barat. Walaupun begitu, para kritikus menyatakan bahwa Castro secara tidak resmi sangatlah berpengaruh terhadap pemerintahan di Kuba. Quirk mengamati bahwa Castro memegang "kekuasaan mutlak" di Kuba, meskipun tidak secara hukum dan konstitusional, sementara Bourne mengklaim bahwa kekuasaan di Kuba "seluruhnya dipegang" oleh Castro, dan ia menambahkan bahwa sangat jarang ada "suatu negara dan bangsa" yang sangat didominasi oleh "kepribadian satu orang". Sondrol berkesimpulan bahwa gaya kepemimpinan Castro di dalam "sebuah sistem politik yang kebanyakan diciptakan olehnya" dapat disandingkan dengan gaya para pemimpin totalitarian seperti Mao Zedong, Hideki Tojo, Joseph Stalin, Adolf Hitler, dan Benito Mussolini.
Amnesty International sendiri berpendapat bahwa meskipun masih ada tokoh-tokoh politik lain yang lebih kontroversial ketimbang Castro, mereka menganggapnya sebagai "seorang pemimpin yang progresif namun penuh cacat". Menurut mereka, ia perlu "dihargai" karena pemerintahannya telah meningkatkan pendidikan dan kesehatan di negaranya, tetapi juga mengkritiknya karena telah melakukan "penindasan kebebasan berekspresi secara kejam."[423] Sementara itu, Human Rights Watch menyatakan bahwa pemerintahan Castro telah mendirikan sebuah "mesin penindasan" yang melanggar "hak-hak dasar" rakyat Cuba.[424] Di sisi lain, Castro berusaha membela rekam jejak HAM pemerintahannya dengan mengatakan bahwa negara terpaksa membatasi kebebasan individu dan menjebloskan mereka yang kontra-revolusi ke penjara untuk melindungi hak warga secara kolektif, seperti hak untuk memperoleh pekerjaan, pendidikan, dan kesehatan.
Kabupaten Tangerang yang Religius, Cerdas, Sehat dan Sejahtera
KOMPAS.com - Jika membicarakan seniman terhebat abad 20, tak mungkin tanpa menyebutkan satu nama, Pablo Picasso.
Si jenius ini membuat dunia begitu mengagumi karyanya. Ketika masih anak-anak, dia mendedikasikan waktunya untuk menggambar, bukannya bermain dan belajar hafalan.
Melukis dengan mempopulerkan gaya kubismenya, Picasso membuat langkah awal pada lahirnya seni modern.
Pablo Ruiz Picasso lahir pada 25 Oktober 1881 di Malaga, Spanyol. Dia berasal dari keluarganya hidupnya penuh dengan kreativitas.
Orangtuanya bernama Jose Ruiz Blasco dan Maria Picasso Lopez. Bakat Picasso diturunkan oleh sang ayah, yang merupakan seorang pelukis dan guru seni.
Bicara soal nama, Picasso memiliki nama lengkap yang sangat panjang, Pablo Diego Jose Francisco de Paula Juan Nepomuceno Maria de los Remedios Cipriano de la Santisima Trinidad Martyr Patricio Clito Ruiz y Picasso.
Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Hedy Lamarr, Aktris Jenius Pionir Teknologi Dasar WiFi
Nama itu diberikan untuk menghormati sejumlah kerabat keluarganya dan santo.
Dia merupakan anak yang serius dan terlalu dini untuk jemu menghadapi dunia. Sepasang bola matanya yang tajam seperti menandakan dia bakal ditakdirkan menjadi seseorang yang hebat.
"Ketika saya masih kecil, ibu saya bilang kepada saya, 'Jika kamu menjadi prajurit, kamu akan menjadi jenderal. Kalau kamu menjadi seorang biarawan, kamu berakhir sebagai paus'," kenangnya.
"Tapi malah sebaliknya, saya menjadi pelukas dan berakhir sebagai Picasso," imbuhnya.
Meski bukan siswa cerdas di sekolah, Picasso menunjukkan bakat luar biasa dalam menggambar sejak masih kecil.
Pindah ke A Coruna pada 1891, dia menjadi murid ayahnya. Sejak itu, dia bereksperimen dengan kemampuannya, mengerahkan smeua hal yang dipelajari dan dikembangkan.
Pablo Picasso. (Twitter/@arisarchontakis)
Bakatnya mulai terlihat melampaui kemampuan ayahnya.
Dukungan dari sang ayah terus mengalir untuk Picasso sampai membuka pameran seni lukis pertama putranya yang berusia 13 tahun.
Keluarga itu pindah ke Barcelona pada musim semi 1895, dan Picasso mengambil pendidikan di akademi seni setempat, La Llotja.
Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Christian Dior, Perancang Busana Mewah Legendaris
Di sana, ayahnya memegang jabatan terakhirnya sebagai profesor seni lukis.
Tak tahan dengan peraturan sekolah, Picasso memilih bolos sehingga dia bisa menjelajahi jalanan Barcelona, menggambar pemandangan kota yang ditemuinya.
Pada usia 16 tahun, Picasso pindah ke Madrid dan masuk ke Royal Academy of San Fernando. Lagi-lagi, dia frustasi dengan teknik dan pelajaran klasik sekolah.
"Mereka hanya terus menerus mengulang hal lama. Velazquez untuk seni lukis, Michaelangelo untuk seni pahat," tulisnya kepada seorang temannya.
Dia kembali melewatkan pelajaran untuk melihat-lihat kota dan melukis apa pun, seperti orang-orang Gipsi, pengemis, dan prostitusi.
Kembali ke Barcelona pada 1899, dia bergabung dengan kelompok seniman dan intelektual yang bermarkas di sebuah kafe bernama El Quatre Gats.
Ibu kota Perancis dianggap sebagai pusat seni tingkat atas dunia, wajar baginya untuk pindah ke kota itu. Meski masih remaja, Picasso membuka studio seni di Montmarte, Paris.
Sejarawan memisahkan hasil karyanya dalam beberapa periode berbeda, misalnya pada 1901-1904 disebut sebagai periode Biru.
Lukisannya pada masa itu didominasi oleh nuansa suram dengan warna biru dan biru-hijau, serta hanya sesekali menggunakan warna lain.
Baca juga: Biografi Tokoh Dunia: Madam CJ Walker, Budak yang Sukses Jadi Miliarder
Subyek yang dipilih berkisar pada kemiskinan dan isolasi hingga penderitaan serta kemurungan.
Beberapa lukisan terkenalnya pada periode itu termasuk, Blue Nude, La Vie, dan The Old Guitarist.
Berikutnya masuk ke periode Mawar dari 1904 hingga 1906, dengan warna merah muda yang mendominasi karyanya. Kebanyakan subjek lukisannya adalah orang-orang sirkus, akrobat, dan badut.
Pada 1907, bersama dengan temannya, George Braque, dia muncul dengan karya luar biasa yang tidak pernah dilukis oleh siapa pun.
Bentuk-bentuk geometris tajam dalam lukisan berjudul Les Demoiselles d'Avignon, menampilkan lima pelacur telanjang yang terdistorsi dengan warna biru, hijau, dan abu-abu yang mencolok.
Karya tersebut menjadi awal dan inspirasi lahirnya aliran Kubisme, sebuah karya artistik yang diciptakan oleg keduanya.
Teknik utama karya kubisme adalah memecah dan menyusun kembali objek dalam bentuk abstrak dengan geometris gabungan, menggabungkan sudut pandang untuk menciptakan efek seperti kolase.
Gaya kubisme juga dipakainya untuk menuangkan karya terkenal lainnya pada era tersebut, termasuk Three Women, Bread and Fruit Dish on a Table, Girl with Mandon, Still Life with Chair Caning, dan Card Player.
Lukisan Pablo Picasso berjudul Le Sauvetage dipamerkan di rumah lelang Sothebys di New York, AS.
Pemenjaraan dan Gerakan 26 Juli: 1953–1955
Sejujurnya aku ingin mengobarkan revolusi di negara ini dari satu ujung ke ujung yang lainnya! Saya yakin hal ini akan membawa kebahagiaan bagi rakyat Kuba. Aku tak akan dihentikan oleh kebencian dan rasa sakit hati dari ribuan orang, termasuk beberapa kerabatku, setengah orang yang aku kenal, dua per tiga rekan profesionalku, dan empat per lima bekas teman sekolahku
— Fidel Castro, 1954.[66]
Setelah dijebloskan ke penjara bersama dengan 25 rekannya, Castro mengganti nama kelompoknya menjadi "Gerakan 26 Juli" (MR-26-7) untuk mengenang tanggal serangan Moncada, dan ia juga membentuk sebuah sekolah untuk para tahanan.[67] Ia banyak membaca dan tak hanya menikmati karya-karya Marx, Lenin, dan Martí, tetapi juga membaca buku-buku karya Freud, Kant, Shakespeare, Munthe, Maugham, dan Dostoyevsky, yang ia tilik dari sudut pandang Marxis.[68] Ia masih menjalin hubungan surat-menyurat dengan para pendukungnya, sehingga ia tetap dapat mengendalikan Gerakan 26 Juli dan mengatur proses publikasi Sejarah Akan Membebaskanku.[69] Walaupun awalnya ia diberi beberapa kebebasan, ia diganjar hukuman penahanan sendiri setelah para tahanan menyanyikan lagu-lagu anti-Batista ketika sang presiden berkunjung pada Februari 1954.[70] Sementara itu, istri Castro, Mirta, mendapatkan pekerjaan di Kementerian Dalam Negeri. Castro merasa tercengang setelah mendengar kabar tersebut melalui sebuah pengumuman radio, dan ia menyatakan bahwa ia lebih baik mati "seribu kali" ketimbang "menderita akibat hinaan semacam itu".[71] Fidel dan Mirta memutuskan untuk bercerai, tetapi Mirta-lah yang mendapatkan hak asuh atas putra mereka, Fidelito; hal ini membuat Castro murka, karena ia tak ingin putranya dibesarkan dalam lingkungan borjuis.[71]
Pada 1954, pemerintah Batista mengadakan pemilu presiden, tetapi Batista menjadi calon tunggal, dan pemilu tersebut dianggap penuh kecurangan. Pemerintah Batista sempat mengizinkan kelompok oposisi untuk bersuara, dan para pendukung Castro menuntut pengampunan untuk para pelaku insiden Moncada. Beberapa politikus merasa bahwa tindakan pengampunan akan menghasilkan citra yang baik, sehingga Kongres dan Batista pun setuju. Batista merasa bahwa Castro bukanlah ancaman, terutama mengingat bahwa ia didukung oleh AS dan perusahaan-perusahaan besar. Maka pada 15 Mei 1955 para tahanan pun dibebaskan.[72] Sekembalinya di Havana, Castro diwawancara oleh radio dan mengadakan konferensi pers; pemerintah sangat memantaunya dan membatasi kegiatan-kegiatannya.[73] Castro pada masa itu sudah bercerai, sehingga ia mulai menjalin hubungan intim dengan dua pendukung perempuannya, Naty Revuelta dan Maria Laborde, dan keduanya dihamili olehnya.[74] Sebagai bagian dari rencananya untuk memperkuat MR-26-7, ia mendirikan Direktorat Nasional yang beranggotakan 11 orang, tetapi ia tetap mengendalikan badan tersebut secara otoriter, dan bahkan beberapa pembangkang mencapnya sebagai seorang caudillo (diktator); Castro sendiri berdalih bahwa suatu revolusi hanya akan berhasil jika dijalankan oleh sebuah komite dan seorang pemimpin yang kuat.[75]
Pada 1955, pemerintah mulai mengambil tindakan keras terhadap para pembangkang akibat terjadinya pengeboman dan demonstrasi yang menggunakan kekerasan, sehingga Castro dan Raúl melarikan diri dari negara tersebut agar tidak ditangkap.[76] Castro mengirim surat kepada media yang menyatakan bahwa ia "meninggalkan Kuba karena semua pintu perjuangan secara damai telah tertutup untukku ... Sebagai pengikut Martí, aku percaya bahwa telah tiba saatnya untuk merebut hak-hak kami dan bukannya mengemis kepada mereka, untuk berjuang dan bukannya memohon-mohon."[77] Castro bersaudara dan beberapa rekan mereka pergi ke Meksiko,[78] dan di situ Raúl berteman dengan seorang dokter Argentina penganut Marxis-Leninis yang bernama Ernesto "Che" Guevara, yang bekerja sebagai jurnalis dan fotografer untuk "Agencia Latina de Noticias".[79] Fidel menyukainya, dan kelak menggambarkannya sebagai "seorang revolusioner yang lebih maju ketimbang saya".[80] Castro juga berhubungan dengan Alberto Bayo, yang bersedia mengajari orang-orang Castro kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan dalam perang gerilya.[81] Dalam rangka mengumpulkan dana, Castro pergi ke AS untuk mencari simpatisan kaya, tetapi di sana pergerakannya dipantau oleh agen-agen Batista, dan konon agen-agen tersebut pernah mencoba membunuhnya.[82] Castro masih tetap berhubungan dengan MR-26-7 di Kuba, dan kelompok tersebut telah memperoleh basis dukungan yang besar di Oriente.[83] Kelompok-kelompok militan anti-Batista lainnya juga muncul, terutama dari kalangan mahasiswa; yang paling terkenal dari antara kelompok-kelompok tersebut adalah Directorio Revolucionario Estudiantil (DRE), yang didirikan oleh José Antonio Echeverría. Antonio bertemu dengan Castro di Kota Meksiko, tetapi Castro menentang cara pandang kelompok tersebut yang mendukung tindakan pembunuhan tanpa pandang bulu.[84]
Setelah membeli kapal yacht Granma, pada 25 November 1956, Castro berlayar dari Tuxpan, Veracruz, menuju Kuba bersama dengan 81 pengobar revolusi bersenjata.[85] Perjalanan sejauh 1.900 km tersebut bukanlah perjalanan yang mudah. Persediaan makanan terus menipis, sementara banyak yang mabuk laut. Bahkan di tengah perjalanan mereka harus mengeluarkan air yang masuk akibat kebocoran, dan salah satu rekan mereka juga pernah ada yang terjatuh dari kapal, sehingga menunda perjalanan mereka.[86] Rencana Castro sebelumnya adalah untuk mencapai Kuba dalam waktu lima hari, dan kemudian saat mereka mendarat anggota MR-26-7 yang dipimpin oleh Frank País akan melancarkan pemberontakan di Santiago dan Manzanillo. Namun, perjalanan Granma berlangsung selama tujuh hari. Akibatnya, País dan pasukannya mengalami kekalahan setelah diserang secara terus menerus oleh pasukan pemerintah selama dua hari.[87]
Pemerintahan sementara: 1959
Atas perintah dari Castro, pengacara Manuel Urrutia Lleó yang beraliran moderat dinyatakan sebagai presiden sementara, tetapi Castro mengeluarkan sebuah pernyataan yang sebenarnya salah, bahwa Urrutia telah dipilih melalui "pemilihan umum". Kebanyakan anggota kabinet Urrutia merupakan anggota MR-26-7.[116] Saat memasuki kota Havana, Castro menyatakan dirinya sebagai Perwakilan Angkatan Bersenjata Pemberontak di bawah Kepresidenan, dan lalu ia menetap dan berkantor di Havana Hilton Hotel.[117] Castro sangat berpengaruh terhadap pemerintahan Urrutia, yang merupakan sebuah pemerintahan yang berkuasa dengan mengeluarkan dekret-dekret. Ia berupaya memastikan agar pemerintahan yang baru menjalankan kebijakan-kebijakan pemberantasan korupsi dan buta huruf, serta kebijakan yang mengeluarkan para pendukung Batista dari jabatan-jabatan pemerintahan, termasuk pemecatan anggota Kongres dan pelarangan menduduki jabatan untuk semua orang yang "terpilih" dalam pemilu curang tahun 1954 dan 1958. Ia kemudian mendorong Urrutia untuk mengeluarkan larangan sementara terhadap partai-partai politik, walaupun ia berulangkali menegaskan bahwa mereka akan mengadakan pemilu yang dapat diikuti oleh lebih dari satu partai.[118] Meskipun ia menyangkal tuduhan bahwa ia adalah seorang komunis di hadapan media, ia diam-diam bertemu dengan anggota-anggota PSP untuk membahas rencana pembentukan sebuah negara sosialis.[119]
Kami tidak menghukum mati orang-orang tak berdosa atau lawan politik. Kami menghukum mati para pembunuh dan mereka memang pantas menerimanya.
— Tanggapan Castro terhadap kritikan yang terkait dengan pengeksekusian massal, 1959[120]
Pemerintahan Batista telah membunuh ribuan orang Kuba saat mereka berupaya memadamkan revolusi; Castro dan media-media besar memperkirakan jumlah korban tewasnya mencapai 20.000 orang, tetapi daftar korban yang diterbitkan tak lama seusai revolusi hanya berisi 898 nama, dan lebih dari setengahnya adalah kombatan perang. Perkiraan-perkiraan yang lebih terkini mengeluarkan angka yang berkisar antara 1000 hingga 4000 korban jiwa. Sebagai tanggapan terhadap seruan agar orang-orang yang bertanggung jawab diseret ke meja hijau, Castro membantu mendirikan beberapa pengadilan, yang berujung pada penghukuman mati ratusan orang. Meskipun kebijakan ini populer di dalam negeri, para kritikus (khususnya pers AS) menyatakan bahwa proses pengadilannya sering kali tidak dilaksanakan secara adil. Castro menanggapinya dengan menyatakan bahwa "Pengadilan revolusioner tidak didasarkan pada aturan-aturan hukum, tetapi pada keyakinan moral".[124] Sementara itu, keberhasilan Castro disambut dengan baik oleh banyak orang di Amerika Latin, dan ia lalu berkunjung ke Venezuela untuk bertemu dengan presiden terpilih Rómulo Betancourt, tetapi ia tidak berhasil memperoleh pinjaman dan juga gagal membuat perjanjian pembelian minyak yang baru.[125] Sekembalinya di tanah air, terjadi adu pendapat antara Castro dengan anggota pemerintahan senior. Ia merasa murka setelah mengetahui bahwa pemerintah telah menyebabkan ribuan orang menganggur akibat penutupan kasino dan rumah bordil. Perdana Menteri José Miró Cardona lalu mengundurkan diri, mengasingkan diri di AS, dan bergabung dengan pergerakan anti-Castro.[126]